DUDUK 2 JAM JADI JUTAWAN

Nih Dia !

GOLPUT TINGGI HARGA KURSI MURAH

JAPER USULKAN CALEG INDEPENDENT

JEMBER - Golput (golongan putih) muncul di setiap perhelatan pemilihan umum. Artinya sebagai golongan yang tidak ikut memilih dan tidak menggunakan hak suaranya. Golput menunjukkan tingkat rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu sebagai pintu demokrasi.
Fenomena Golput di beberapa Pemilu dan Pilkada cukup mengkhawatirkan. Taruhlah contoh Pemilu Legislatif 2004. Rendahnya partisipasi publik ditunjukkan kepada perolehan masing-masing anggota dewan tahun 2004-2009.
Sistem tahun Pemilu tahun 2004, memakai proporsional stelsel daftar sangat menguntungkan caleg nomor urut satu yang belum tentu mendapatkan suara terbanyak. Bahkan caleg terpilih belum tentu memiliki integritas sesuai harapan rakyat. Contohnya, ada salah satu anggota DPRD Jember yang hanya bermodalkan 724 suara bisa duduk di kursi empuk DPRD.
Pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) di mana Pemilu tahun 2009 dengan sistem proporsional stelsel terbatas memaksa parpol, dan caleg untuk berjuang lebih keras lagi. Bagi Parpol dan Caleg yang tidak memiliki akar yang kuat di masyarakat sudah tentu akan tereliminasi.
Sebagai gambaran, data Pemilu tahun 2004, dari 1.625.148 (DPT) hanya 10,03 % yang mencoblos nama 45 legislatif yang duduk saat ini dan 18,891 % lagi memilih hampir 500 calon lain yang tidak jadi. Dengan kata lain jumlah pemilih 45 anggota DPRD, sangatlah rendah. Yang tertinggi adalah coblos gambar partai, yaitu 40,524 %.
Suara coblos gambar partai itu bermakna ganda. Pertama, siapapun calon legislatifnya, rakyat tidak perduli. Di sini ada kegagalan pengkaderan partai. Kedua, rendahnya pendidikan politik di masyarakat menghasilkan output wakil rakyat yang tidak berkualitas.
Contoh berikutnya dapat dilihat pada Pilkada Jember Tahun 2005 untuk memilih pemimpin daerah. Angka golput relatif tinggi, mencapai sekitar 37,5 % dari suara sah. Golput menempati peringkat kedua dari calon terpilih MZA Djalal, yang mendapat dukungan hanya 38 % suara sah atau 608.053 suara. Urutan ketiga Syamsul Hadi Siswoyo, 290.092 suara atau 18 % dan Mahmud Sardjujono, 140.302 suara.
Jaringan Pemilih Rasional (Japer) Jember mencatat fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Karena menyangkut legitimasi pemimpin. Di Pilkada Jember 2005, suara golput jika digabung dengan yang tidak menginginkan Bupati terpilih mencapai 62,5 % yaitu lebih dari 1.000.000 suara. Fakta di atas merupakan bukti kuat bahwa legitimasi rakyat terhadap Bupati terpilih masih rendah.
Contoh lain, di Pilgub Jawa Barat, Golput berkisar 35,7 % dan mengungguli pasangan terpilih Heriawan-Dede Yusuf 26,0 %. Di Jawa Tengah, pasangan terpilih Bibit Waluyo-Rustriningsih keok melawan Golput sebesar 40 %. Juga di Jatim, diputaran pertama, semua pasangan dipaksa mengakui kegagahan golput yang berkisar di angka 40 %.
Dalam dinamika perpolitikan ada 2 problem yang harus dicermati yaitu probem hulu dan hilir. Problem hulu terkait good will pemerintah, penyelenggara pemilu dan keseriusan partai yang boleh dibilang masih setengah hati.
Sementara problem hilir adalah sikap masa bodoh, praktis dan pragmatisme tokoh dan masyarakat secara luas. Idealnya komponen hulu demokrasi ini harus memiliki semangat sama yakni kejujuran universal yang tidak mendasarkan pada kepentingan individu, kelompok dan partai tertentu saja.
Di hilir, harus ada peningkatan pemahaman, dan penyadaran masyarakat secara simultan dan ikut terlibat aktif dalam setiap proses politik. Harapannya masyarakat tidak lagi masa bodoh, dan menjadi pemilih rasional yang tahu apa yang harus dilakukan.
Selanjutnya, Pemerintah, KPUD, dan Parpol harus menunjukkan good will demokrasi secara ideal dalam grand design untuk menyejahterakan masyarakat.
Guna mewujudkan pemikiran itu, hal yang paling penting adalah melakukan proses pendidikan berupa penyadaran politik di masyarakat secara cerdas. Dengan demikian cita cita ideal demokrasi dalam berbangsa dan bernegara dipastikan akan tercapai.
JAPER berharap meningkatnya kwalitas proses-proses politik serta partisipasi masyarakat secara total dalam menjalankan hak dan kewajibannya ber-demokrasi. Untuk itu harus ada kehendak bersama untuk meningkatkan kecerdasan dalam masyarakat, agar seluruh masyarakat dapat menjadi pemilih yang rasional. Rasionalitas yang mengacu kepada persepsi positif di masyarakat itu sendiri.
Kompleksnya permasalahan dan susahnya menyentuh problem hulu, maka JAPER mencoba konsentrasi di problem hilir. Pembenahan problem hilir ini membutuhkan proses pendidikan secara terus menerus dan dilakukan oleh kelompok - kelompok yang tidak mencerminkan kepentingan individu dan golongan tertentu sebagai gerakan pencerdasan semacam JAPER.
Diluar cara Revolusioner, untuk merubah sistem dan pemimpin dengan cara yang “santun” sangat sulit, tetapi JAPER yakin dapat tercapai dengan syarat , masyarakat wajib memiliki pemahaman yang benar melalui berbagai model pelatihan, pendidikan dan penyadaran politik dengan cara pemberian informasi, membuka kran informasi, dan pendidikan politik, agar tumbuh kesadaran di masyarakat, bahwa politik itu penting. Menu masa lampau yang disuguhkan selama ini sudah mencapai titik jenuh dan tidak lagi menarik. Faktanya tidak pernah ada Pemilu yang melahirkan sosok pemimpin yang representatif bagi masyarakat. Malahan orang yang dikehendaki rakyat, tidak terpilih karena sistem tidak berpihak kepadanya. Dari pemikiran itu, JAPER menghendaki hidupnya dinamika perpolitikan dan hidupnya demokrasi. Apa harus JAPER sendirian, tentu saja tidak. Tapi, tanggungjawab semua pihak terutama pemerintah dan partai politik.
Jika nantinya Golput tinggi, itu berarti PEMERINTAH DAERAH, dan KPUD gagal. Sekaligus PEMERINTAH DAERAH, KPUD dan Partai terbukti SETENGAH HATI dalam membangun demokrasi seutuhnya.
Akibatnya harga kursi DPRD menjadi MURAH dan para caleg yang untung. Asumsi ini merupakan indikasi bahwa pemikiran caleg dan parpol tidak dalam grand design memakmurkan rakyat. Tapi cenderung untuk kepentingan sesaat saja, dan sekadar terpilih saja.
Golput tinggi sejatinya merugikan masyarakat. Sebab, idealisme bangsa tidak tercapai. JAPER memprediksi golput di Jember akan meningkat. Asumsinya kegagalan Pemilu 2004, Pilkada 2005, dan Pilgub 2008.
Fenomena pasang gambar, logo, nama caleg di jalan – jalan adalah bukti aplikasi yang salah dalam pendidikan politik dan cenderung lips service semata. Karena mereka seratus persen masih mementingkan golongan dengan konsep pendidikan politik yang cenderung manipulatif.
Rekruitmen caleg juga memprihatinkan karena dilakukan tanpa verifikasi yang jelas. Lebih ironis lagi ketika caleg hanya berorientasi kepada peningkatan status belaka.
JAPER mencurigai bahwa caleg yang ada sekarang ini tidak visioner. Hanya diiming – imingi janji kekuasaan setelah duduk sebagai wakil rakyat bisa menguasai sumber pendapatan ekonomi dan meningkatkan status sosial di masyarakat.
Hal ini diperkuat fakta anggota DPRD periode 2004 – 2009, bukan rahasia umum lagi, dalam kurun waktu singkat status ekonomi mereka meningkat drastis.
Buktinya, dari 45 anggota DPRD ada sekitar 37 orang yang mencalonkan lagi. Padahal raport mereka di masyarakat sudah merah. Oleh karenanya tingkat rasionalitas masyarakat pemilih harus lebih ditingkatkan lagi. Agar ketiga puluh tujuh anggota DPRD yang mencalonkan lagi tersebut, tidak memiliki peluang untuk duduk kembali.
Ke depan JAPER berharap masyarakat lebih rasional dalam memilih. Agar tidak lagi jadi obyek penderita bagi para caleg yang tidak memiliki visi memperjuangkan kesejahteraan rakyat. !!

Jember, 27 Januari 2009
JARINGAN PEMILIH RASIONAL (JAPER)




ISMA HAKIM RAHMAT, STP
PENDIRI

Tidak ada komentar: